Friday 8 February 2013

Shoko Tendo - Yakuza Moon "Memoar Seorang Putri Gangster Jepang"

Bab Satu

Awan-Awan Mengambang

By : Shoko Tendo

Aku lahir di musim dingin 1968, putri seorang yakuza. Aku anak ketiga dari empat bersaudara, ayahku Hiroyashu dan ibuku Satomi. Kakak lelakiku Daiki, dua belas tahun lebih tua dariku, dan kakak perempuanku maki, hanya terpaut dua tahun dariku. Adik bungsu ku, Natsuki, lima tahun lebih muda dariku. Kami memanggilnya Na-Chan.

Semula kami tinggal di Toyonaka, sebelah utara Osaka, tetapi itu ketika aku masih kecil sekali, kami pindah kerumah baru di Sakai, sebelah kanan kota. Rumah itu indah dengan gerbang besi berpintu ganda. Jalan setapak yang terbuat dari batu berkelak-kelok menuju ke pintu depan, tepi-tepinya dipagari rerumputan azelea putih. Rumah itu besar untuk ukuran rumah di jepang pada umumnya. Kami memiliki kamar tidur sendiri-sendiri, dan ada sebuah ruang tamu, ruang makn, dua ruang tatami, serta ruang tempat Ayah menjalankan bisnisnya dan menemui tamu-tamu. Harum bau kayu memnuhi seluruh rumah. Ruang tamu kami berpemandangan kolam besar berbentuk parit kastil, dengan ikan koi warna-warni yang meluncur gemulai di air kolam. Kami juga memiliki kolam renang, tempat kami main seharian ketika tiba musim panas. Di sisi kanan jendela kamarku, tumbuh sebatang ceri yang senantiasa berbunga; pohon tinggi itu sudah seperti teman bagiku. kapanpun akunmenghadapi masalah, aku biasa datang kepadanya, lalu duduk di bawah cecabangnya.

Disamping menjadi bos Yakuza setempat , ayahku menjalankan 3 bisnis lainnya : kontraktor pekerjaan umum, perusahaan konstruksi bangunan, dan perusahaan real estate. Di mata kami, anak-anaknya, ia adalah sosok yang sangat menyenangkan. Ia tergila-gila pada mobil dan memiliki beberapa model terbaru, buatan jepang atau luar negeri, masih di tambah lagi dengan sejumlah harley dan sepeda motor lainnya. Garasi kami tampak seperti showroom dengan deretan mobil dan motor mengilap. Sudah begitu, ia tak pernah puas pada model standar dan selalu meluangkan waktu untuk mengotak-ngatiknya. Jika ada orang lain yang mengendarai mobil yang juga di modifikasindan mereka berdampingan di lampu merah, ayahku akan menekan pedal gas seperti seoramg pembalap. Dia akan segera melesatkan mobilnya begitu lampu hijau menyala. Dibelakang setir, ayahku sama bergairahnya dengan itik di permukaan air. Ibuku, perempuan yang tabah, selalu mengingatkan ayah agar tidak usah ngebut, tetapi aku selau bergairah merasakan sensasi mobil yang melaju cepat.

Setiap akhir pekan, kami sekeluarga pergi berbelanja atau makan di restoran. Kapan pun Kami keluar rumah dompet kulit buaya milik ayah selalu mengembung seolah-olah baru saja menelan mangsa besar. Ibu akan selalu duduk di depan cermin segitiga untuk menjalankan ritual menata rambut dan ia merias wajahnya dengan cermat sekali. Ia keluar rumah dengan payung warna merah muda tergenggam di jari-jari lentiknya. Aku menggenggamtangan nya yang satu dan memerhatikan cincin ovalnya yang memancarkan cahaya pelangin di bawah cahaya matahari.”ini akan menjadi miliku jikakau sudah besar,” katanya. Ia menunduk menperhatikanku dan tersenyum.

Ayah sangat sibuk dengan urusan geng nya dan bisnis-bisnisnya yang lain, tetapi ia akan selalu meluangkan pekan pertama tahun baru untuk keluarga. Kami tak sabar menunggu pesta makan besar yang di siapkan sendiri oleh ibu; tumis sayuran bumbu kecap, irisan tebal omelet lezat, kering kedelai, nasi kukus dengan chestnut, semuanyan di sajikan di atas meja susun tiga berpelitur hitam mengkilap.di hari pertama tahun baru, setelah makan selesai , kami sekeluarga akan pergi ke kuil terdekat dan menyampaikan doa pertama kami. Kami yang kanak-kanak akan mengambil gulungan kertas ramalan dan meminta orang tua untuk membaca, lalu menerangkannya kepada kami. Inilah ritual tahunan keluarga Tendo. Pada tahun baru , ketika aku sudah masuk sekolah, ayah menghampiriku dan meletakkan jimat berbentuk lonceng kecil di telapak tanganku.

“Ini untukmu, Shoko.”
         
          Jimat itu terasa hangat sekali di tangan ku , seakan akan kekuatannya menyusup begitu dalam ke tubuhku. Aku menggantungkannya ke tas sekolahku, dan kugoyang-goyangkan di waktu istirahat untuk mendengarkan bunyinya--- tahun baru yang tak terlupakan.
         
          Orangtuaku selalu bersikap lembut, tetapi mereka tak bisa di bantah dalam urusan tata krama. Bahkan pembantu kami pun dilarang memanjakan kami. Kami tidak dibolehkan menonton televisi selagi makan. Kami harus mengucapkan syukur sebelum dan sesudah makan, lalu setelah selesai makan, kami harus membersihkan sendiri piring kami. Meskipun dididik dalam tata krama kuno, aku menyukainya.

          Rumah kami selalu di datangi oleh mobil-mobil wiraniaga, pedagang perhiasan, penjual kimono, penjahit dan berbagai macam orang. Itu pemandangan yang mengagumkan bagi anak-anak yang sedang tumbuh.

          Kakekku dari sisi ayah lebih sayang kepadaku di banding kepada cucu-cucunya yang lain. Suatu  hari, ketika usiaku tiga tahun, ia mengayunku dengan lututnya sambil bernyanyi,”Shoko, Shoko”, dan langsung tertidur begitu saja. Begitulah, ia meninggal karena serangan jantung. Empat tahun kemudian,tak lam setelah aku masuk sekolah dasar, nenekku juga meninggal. Setelah pemakamannya, kami duduk makan siang bersama, kemudian salah seorang pamanku mendatangi Ayah.

          “Kau yakuza gembel. Kau tak akan mendapatkan sepeserpun uang keluarga Tendo,” katanya sengit.

“Upacara pemakaman belum rampung seluruhnya, kau sudah bicara soal uang? Minggatlah dan tinggalkan aku setan rakus kalian semua!” Ayahku meradang dan mengamuk.

Kerabat kami yang lain menundukkan pandangan mereka kelantai. Aku tak nyaman karena orang-orang ini bertengkar tentang uang ketika nenekku baru saja meninggal. Dalam pikiranku, ayah mungkin seorang yakuza, tetapi waktu itu oa benar.

Beberapa hari setelah itu, Ayah terlilit perkara dan di jebloskan ke dalam penjara. Kami tidak pernah punya urusan dengan tetangga kiri-kanan sejak kami pindah rumah, tetapi tiba-tiba setiap orang mengunjingkan kami dam semuanya menjijikkan. Inilah pengalaman pertamaku dilecehkan, tetapi itu bukan yang terakhir.

Suatu saat, ketika aku menggambar didepan rumah, salah seorang perempuan yang melintas di jalanan mendekatiku. Ia membungkuk dan membisikkan sesuatu di telingaku, “Shoko-chan, tahukah kamu bahwa kakakmu yang paling tua bukan kakak kandungmu? Ibumu sudah punya anak sebelum bertemu dengan ayahmu.”

Apa yang dikatakan perempuan itu tidak memengaruhi perasaanku terhadap kakak lelakiku. Aku hanya diam tidak paham kenapa seseorang harus menyampaikan kepada anak kecil hal semacam itu. Dan, anak-anak di sekitar rumah saja meniru kelakuan orangtua mereka. Di sekolah, aku di panggil Yakuza Kecil dan di perlakukan sebagai orang buangan. Masa pendidikanku di sekolah dasar berubah menjadi masa enam tahun penindasan.

Ada kejadian di kelas dua yang tak pernah bisa ku lupakan. Waktu itu, kami sedang bersih-bersih. Kelompok ku mendapatkan giliran membersihkan ruang guru. Alu sedang berjongkok menyapu lantai, tubuhku tersembunyi di antara dua meja. Saat itu, aku mendengar suara guru, yang sejauh ini ku kenal selalu lembut sikapnya padaku, aku menajamkan pendengaranku.

“Shoko Tendo? Ia bisa menggambar, dan mungkin bisa membaca dan menulis, tetapi, ya, itu saja. Tak banyak yang bisa kita ajarkan kepada anak idiot seperti dia.”

Ia membuatku mual dan aku melihat perempuan itu melemparkan selembar kertas ke atas mejanya. Guru-guru lain berkerumun untuk melihat.

“Kau tidak berolok-olok!” Mereka tertawa.

Itu kertas ujian kenaikan kelasku. Aku mungkin tidak mengerjakan ujianku terlalu bagus, tetapi aku telah berusaha keras. Kemudian, mereka melihatku berdiri mematung, dan buru-buru mengatakan,”Kau sudah selesai menyapu?  Bagus! Dengan senyum pura-pura di wajah, mereka membimbingku keluar dari ruangan.

Dari situ, aku mendapatkan pelajaran bahwa orang bisa bermuka dua. Sebuah pelajaran yang tak pernah kulupakan.

PADA waktu itu, anak-anak berusia antara empat hingga empatbelas tahun tidak diizinkan mengunjungi penjara. Jadi, aku dan Maki tidak pernah punya kesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengan Ayah. Ibu mengambil alih urusan bisnis, dia juga mengawasi anak-anak muda anggota geng. Ia harus menggendong Na-Chan kemanapun, tetapi ia bisa melakukan semuanya dan dengan sabar menunggu hari pembebasan ayah. Tidak satu kalipun aku mendengar ia mengeluh. Namun, aku tidak ingin menbuat ia lebih repot . karena itu, aku tidak pernah bercerita padanya tentang apapun yang terjadi di sekolah.

Namun akibatnya, karena aku tidak pernah bercerita kepada siapapun, penindasan yang ditujukan kepadaku segera menjadi rutin. Pakaian dan sepatu senamku di campakkan ketungku. Ketika tugas bersih-bersih, aku selau menjadi satu-satunya yang membersihkan lantai. Selebihnya, aku nyaris sepenuhnya diabaikan sehingga rasanya aku tak pernah ada. Yang paling banyak menindas dan melecehkan aku adalah anak-anak pintar yang orangtuanya memiliki pekerjaan terhormat. Cara mereka menyakitiku sungguh licik dan cerdik sehingga guru-guru tidak mengetahuinya, kecuali aku melakukan perlawanan. Aku sadar, tidak ada gunanya menceritakan kepada siapa pun, itu hanya membuat urusan makin runyam. Para penggangguku akan melakukan segala cara agar tidak ketahuan di lain waktu. Tetapi, peduli setan dengan apa yang mereka lakukan padaku, aku tak pernah menangis atau mangkir dari sekolah, kecuali aku benar-benar sakit.

Satu-satunya temanku hanyalah pensil dan buku catatan. Aku menghabiskan waktu makan dan istirahat dengan menggambar apa saja dan mengabaikan segala ejekan teman-teman sekelasku.

“Ayahmu Yakuza. Serem!”

“Aku yakin ayahmu tak akan datang mengambil rapot karena ia di dalam penjara!”

“Apa salahnya menjadi Yakuza?” balasku, satu-satunya yang buatku tak tahan adalah mendengar orangtuaku dilecehkan. Dan, sekalipun menjadi putri seorang yakuza berarti aku akan terus diperlakukan sebagai sampah, aku memutuskan untuk tidak perlu menjadi orang lain, sekedar demi mendapatkan teman.

Ketika aku pulang ke rumah dari tempat yang mengerikan itu, anjing dan kucingku selalu menunggu di pintu depan. Aku duduk, lalu mengacak-acak bulu-bulu lembut mereka. Hal ini akan membuat aku merasa lebih tentram. Manusia berbohong dan melakukan hal-hal yang kej, tetapi binatang tidak demikian. Ikan-ikan koi yang kuberi makan setiap hari akan mendengar langkah kaki ku dan mengikutiku mengitari kolam. Mereka membutuhkan aku dan bagiku mereka buka sekedar hewan peliharaan. Mereka adalah anggota keluarga. Ketika musim semi, aku memandang keluar jendela kamarku, aku bisa melihat daun-daun ceri berdansa bagai butir-butir salju ditiup angin lembut di musim semi, dan hatiku akan menari bersama mereka. Jika aku menempelkan daun telingaku pada batang ceri itu sedang bercakap-cakap denganku. Ketika musim panas tiba dan pohon ceri itu kehilangan bunga-bunganya, aku akan berbaring di bawahnya, memandang langit dan membayangkan dunia di balik awan-awan yang mengambang. Di masa kecilku, rumah adalah satu-satunya tempat saat aku bisa merasa bahagia.

Ibu sungguh istimewa bagiku. Aku anak yang sakit-sakitan, dan karenanya ia selalu mencemaskan keadaanku dan tidak pernah jauh dariku. Tetapi ini juga berarti bahwa aku selalu dihantui rasa takut ia akan meninggalkanku selama-lamanya. Suatu kali, saat aku terbaring sakit di tempat tidur, aku membuka mata dan tidak menemukan ibu didekatku. Aku memanggil-manggilnya, tetapi ia tidak menjawab. Aku berlari ke jalanan tanpa alas kaki untuk mencarinya. Akhirnya, aku menemukannya sedang melangkah pulang dari toko.

“Apa yang kau lakukan? Mestinya kau tidak turun dari tempat tidur,” katanya, dengan paras muka bertanya-tanya.

Aku tidak bisa menjelaskan ketakutanku. Selama aku sakit, ibu selalu membawakan makanan untukku ketempat tidur—bubur dengan asinan buah prem berwarna merah menyala diatasnya, dan setengah potong buah persik warna kuning. Aku masih ingat rasa bubur yang agak-agak manis dan buah prem yang asin menggigit. Aku tidak pernah bisa tahu betapa pendek waktu untuk menjalani saat-saat menyenangkan itu bersama ibu.

Suatu hari, aku pulang sekolah dalam keadaan demam. Tiba-tiba, Mizuguchi, salah satu yakuza termuda di geng Ayah, menyusup kedalam kamarku. Ia mendekati yang sedang berbaring di kasur.

“Apakah kau sakit, manis?”

Ada pancaran aneh pada matanya, dan aku merasakan sesuatu yang ganjil pada tindak tanduknya.

“Ya,” jawabku, tanpa melihatnya.
“Shoko-chan, kau sudah menjadi gadis sekarang, dan kau semakin cantik dari waktu ke waktu.”

Mizuguchi mendekatkan mukanya ke mukaku dan mencoba menciumku. Aku meronta saat ia memasukkan tangan kasarnya kedalam piyamaku dan meremas payudaraku. Aku bisa melihat tato di lengannya menyembul dari balik lengan bajunya. Aku menciba menendang dan memukul untuk membebaskan diri dari remasannya, tetapi aku sangat takut, tubuhku gemetar, dan aku hampir  muntah. Beberapa hari kemudian, Mizuguchi di tangkap karena kasus obat terlarang.

Sejak saat itu, aku tidak bisa lagi memercayai orang-orang dewasa.

Tak lama setelah aku duduk di kelas empat, ayah dibebaskan dari penjara. Ia mulai keluar keluar setiap petang ke bar-bar mewah dan pulang tengah malam bersama hostes-hostes dalam rangkulannya. Lalu, ia akan berteriak, ‘Satomi! Shoko! Aku membawa hadiah untuk kalian. Kemarilah dan bantu aku memakannya.’ Aku tidak ingin melihat ayah ayah mengamuk ketikaia mabuk, maka betapa pun mengantuknya aku atau sekenyang apapun perutku, aku meninggalkan tempat tidurku.

“Kelihatannya lezat sekali, Ayah.”

Dan, aku memaksakan diri tersenyum setiap kali menghabiskan kue atau biskuit yang ia bawa pulang. Itulah awal mula saat berat badanku naik pesat. Di sekolah, mereka menggangguku makin kasar, dan aku di panggil dengan sebutan ‘babi’ atau ‘gentong’ dan semacamnya.

Aku benci melihat ayahku pulang mabuk setiap malam. Lebih dari itu, aku muak pada hostes-hostes, pada parfum meraka yang menyangat, dan pada suara manja mereka yang menyakitkan.

“Kita sudah sampai dirumah dengan selamat.”

Mereka semua menyanjung-nyanjung ayah, tepat di depanku dan ibu. Saat itu pun, aku sudah bisa memahami bahwa mereka sama sekali tidak peduli kepada ayahku, mereka hanya memburu uangnya. Aku sungguh tidak senang ketika melihat ibu menundukkan kepala kepada mereka dan dengan lembut menyampaikan terimakasih atas bantuan mereka.

Setiap kali ayah merasa gundah, ia akn meraung sekeras-kerasnya dan membanting apa saja yang ada di rumah. Dengan tubuh gempal dan berotot, setiap kali mengamuk, ia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri. Ia akan menghancurkan akca jendela, atau mengunjak dalam-dalam pedal gas mobil barunya sampai suara mesinnya terdengar meraung-raung. Aku bahkan tak ingat berapa kali kami mengganti televisi atau pesawat telepon. Na-chan, si  bungsu, akan merapat ke kasurku, lalu mendekapku erat-erat karena ngeri.

“Aku takut, Shoko. Aku takut.”

“Tidurlah kembali, Na-Chan. Tak akan terjadi apa-apa denganmu selagi ada aku.”

Aku berlagak menjadi kakak yang hebat, tetapi aku sendiri merasa gentar. Lantas, setelah keadaan kembali tenang, aku biasa bangun dan membantu ibu membersihkan semua puing. Sebagaimana biasa, ibu selalu menangis.

“Biar aku saja,” katanya. “Kau besok sekolah. Tidurlah lagi.”

Namun, aku tidak ingin meninggalkannya, jadi aku berpura-pura tidak mendengar dan terus mengumpulkan pecahan-pecahan.

“Kalau aku sudah besar, aku akan menjadi orang kaya dan membeli rumah baru untuk kita tinggali bersama,” kataku, mencoba menyenangkannya.

Keesokan harinya, Ayah akan heran melihat keadaan rumah.

“Apa yang telah terjadi?” tanyanya.

Ayah tidak mengingat secuil pun mengenai amukannya, karena itu, sekalipun takut padanya, aku tidak pernah sanggup membencinya.

ADA satu masa ketika ayah sangat sibuk menjalankan bisnisnya yang berkaitan dengan Yakuza dan itu menyebabkan ia nyaris tidak pernah dirumah. Orang-orang yang bekerja di ruangannya juga sering keluar karena itu sering kali aku harus tinggal dirumah sendirian. Telepon berdering tak henti-henti, ketika kuangkat, suara diseberang sana akan mengatakan kira-kira seperti ini, “Setelah ajm 3 besok cek akan di tolak. Sampaikan secepatnya kepada orangtuamu secepatnya. Jangan lupa,oke?”

Penelepon akan menutup teleponnya, tetapi kata-kata “ditolak” meninggalkan rasa pahit dimulut. Sekalipun aku tidak paham apa maksudnya, aku bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk sedang berlangsung. Ayah mulai rajin membaca rencana-rencana bisnisnya pada tengah malam dan menelitinya dengan cermat. Kadang-kadang, ia hanya duduk di belakang mejanya dan menyangga kepalanya dengan kedua tangannya.

Aku tahu bahwa ayah bekerja keras untuk kami. Namun, saat aku merangkak ke kasurku di malam hari, yang terpikir olehku hanyalah bagaimana ia pulang kerumah dalam keadaan mabuk dan membantingi apa saja. Dalam kegelapam kamar, aku memandangi urat-urat kayu di langit-langit. Lalu, beberapa waktu kemudian , akan muncul paras muka mengerikan yang membuat aku dihantui perasaan takut. Saat ibu membaringkan tubuhnya ketempat tidur dan tidur di kasur sebelahku, diam-diam aku selalu memperhatikan wajahnya. Saat itulah, aku baru merasa tenang dan bisa memejamkan mata. Pada hari-hari itu, aku tidak pernah bisa tidur nyenyak dan nyris tidak mungkin bagiku untuk mengikuti sepenuhnya pelajaran di sekolah. Terus terang saja aku tidak pernah memerhatikan pelajaranku, mengantuk atau tidak, aku tidak yakin akan bisa menangkap pelajaran dengan baik.

Dan, kemudian, setelah enam tahun penuh penderitaan, pendidikanku di sekolah dasar akhirnya rampung..





2 comments: